Rabu, 13 November 2013

Perkembangan Hukum Ketenagakerjaan

Perkembangan hukum perburuhan dan ketenagakerjaan mengalami perubahan yang menuju ke arah perbaikan yakni dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang disebutkan dalam Pasal 1 angka 2 bahwa tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan sendiri ataupun masyarakat.

Pengertian tenaga kerja dalam UU No.13 Tahun 2003 tersebut menyempurnakan pengertian tenaga kerja dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1964 tentang Pokok Ketenagakerjaan yang memberikan pengertian tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan baik di dalam maupun di luar hubungan kerja guna menghasilkan barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.

Hukum Perburuhan (Arbeidsrecht) adalah himpunan peraturan, baik tertulis maupun tidak tertulis yang berkenaan dengan kejadian dimana seseorang bekerja pada orang lain dengan menerima upah (Soepomo, 1987:3).

Keberadaan Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia terdiri dari beberapa fase. Pada abad 120 SM bangsa Indonesia telah mengenal sistem gotong royong diantara anggota masyarakat dalam menyelesaikan suatu pekerjaan. Gotong royong merupakan suatu upaya pengerahan tenaga kerja tambahan dari luar kalangan keluarga yang dimaksudkan untuk mengisi kekurangan tenaga pada masa sibuk dengan tidak mengenal suatu balas jasa dalam bentuk materi. Sifat gotong royong ini memiliki nilai luhur dan diyakini membawa kebaikan bagi masyarakat karena intinya adalah kebaikan, kebijakan, dan hikmah bagi semua orang. Dalam perkembangannya, gotong royong ini kemudian menjadi sumber terbentuknya hukum ketenagakerjaan adat. Yaitu semua masyarakat adat “diwajibkan” untuk ikut serta menyelesaikan suatu pekerjaan secara gotong royong. Walaupun secara umum tidak ada peraturan tertulis dan hanya dilakukan secara lisan, namun hukum ketenagakerjaan adat ini pada akhirnya merupakan identitas bangsa serta mencerminkan kepribadian bangsa Indonesia.
Pada awal berdirinya kerajaan-kerajaan di Indonesia, hubungan kerja cenderung didasarkan hubungan raja sebagai penguasa dan masyarakat sebagai yang dikuasai. Pada zaman ini terdapat sistem pengkastaan antara lain: kasta Brahmana, Ksatria, Waisya, Sudra, dan Paria. Kasta Sudra dan Paria merupakan kasta paling rendah. Golongan ini bisanya menjadi budak dari diatasnya yang bertindak sebagai majikan. Para budak tidak harus melaksanakan pekerjaannya sesuai perintah majikan dengan tidak memiliki hak.
Pada masa pendudukan hindia belanda di Indonesia kasus perbudakan semakin meningkat. Perlakuan terhadap budak sangat keji dan tidak berprikemanusiaan. Selain kasus perbudakan dikenal juga istilah rodi yang pada dasarnya sama saja. Pada awalnya masyarakat desa suku tertentu diminta untuk melakukan pekerjaan secara gotong royong. Namun kemudian hal tersebut dimanfaatkan oleh penjajah menjadi kerja paksa untuk kepentingan pemerintah hindia belanda dan pembesar-pembesarnya.
Penyelesaiannya adalah mendudukan para budak pada kedudukan manusia merdeka, baik sosiologis maupun yuridis dan ekonomis. Tindakan belanda untuk mengatasi kasus perbudakan ini adalah menerbitkan Staatblad 1817 nomor 42 yang berisi larangan untuk memasukan budak-budak ke pulau Jawa. Pada tahun 1818 ditetapkan dalam Undang-undang Dasar Hindia Belanda (Regeling Reglement) pasal 115 bahwa paling lambat pada tanggal 1-06-1960 perbudakan dihapuskan.
Hukum Ketenagakerjaan yang mulanya disebut dengan hukum perburuhan, tidak saja menyangkut hubungan kerja antara pekerja dengan pengusaha, melainkan mengatur juga hubungan kerja seperti pra kerja atau sebelum bekerja dan purna kerja atau setelah bekerja. Dengan adanya istilah buruh yang merupakan istilah teknis saja kemudian berkembang menjadi istilah pekerja karena lebih sesuai dengan nilai dalam kaidah ketenagakerjaan berdasarkan falsafah bangsa Indonesia yaitu Pancasila. Nilai-nilai yang terdapat dalam Pancasila ingin diterapkan dalam tata nilai hukum nasional termasuk hukum ketenagakerjaan, sebagai perubahan tata nilai hukum warisan Hindia Belanda yang masih berlaku dalam hukum positif Indonesia.
Sebutan buruh masih memberikan suatu pengertian pada pekerja golongan bawah/pekerja kasar yang bekerja mengandalkan kekuatan fisik saja. Orang-orang yang bekerja tidak mengandalkan kekuatan fisik, seperti pekerja di bidang administrasi, merasa enggan disebut buruh.
Dari sejarah perburuhan dapat dicatat bahwa pada jaman feodal istilah buruh hanya digunakan untuk orang yang melakukan pekerjaan kasar seperti kuli, tukang, dan sejenisnya yang lebih dikenal dengan sebutan blue colla. Sedangkan orang yang melakukan pekerjaan halus terutama yang mempunyai pangkat dan sejenisnya menamakan dirinya pegawai yang berkedudukan sebagai priyayi dan dikenal sebagai kelompok white collar.
Memang yang diatur dalam hukum perburuhan mula-mula adalah golongan blue collar, sedangkan golongan white collar baru kemudian dimasukan menjadi materi hukum perburuhan. Pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) Buku III Bab 6 titel 4, terdapat satu bagian yang mengatur perburuhan, tetapi hanya mengatur pelayan dan tukang. Baru mulai 1 Januari 1927 KUHPerdata Buku III Bab 7A mengatur masalah-masalah buruh, baik buruh kasar maupun halus. Dengan demikian hukum perburuhan hanya mengatur hubungan kerja antara buruh dan majikan dengan imbalan upah dan tidak mengatur pekerja diluar hubungan kerja (pra pekerja dan purna kerja).
Dalam pasal 27 ayat 2 Undang-undang Dasar 1945 juncto pasal 1 angka 2 Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan disebutkan bahwa:”Tenaga Kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa, baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat.” Disamping itu tenaga kerja merupakan tulang punggung pembangunan melalui pertumbuhan industri. Karenanya kegiatan kerja yang dilakukan akan mengandung aspek hubungan sosial, hubungan hukum, serta hubungan antar dan inter organisasi yang dapat menimbulkan hak dan kewajiban bagi para pihak dan harus dilaksanakan berdasarkan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.
Menurut UU No. 13 Tahun 2003, pengertian ketenagakerjaan adalah lebih luas dibandingkan dengan perburuhan sebagaimana dalam KUHPerdata. Namun demikian pelaksanaan peraturan perundang – undangan di bidang ketenagakerjaan masih mempergunakan beberapa undang-undang yang dikeluarkan sebelum dikeluarkan UU No. 13 Tahun 2003. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003, antara lain menyebutkan bahwa : Tiap-tiap tenaga kerja barhak atas pekerjaan dan penghasilan yang layak bagi kemanusiaan , oleh karena itu tidak boleh ada diskriminasi antara pekerja wanita dan pria. Adapun ruang lingkup tenaga kerja menurut UU No. 13 Tahun 2003 adalah pre – employment, during employment, dan post employment. Selain itu tenaga kerja berhak atas pembinaan dan perlindungan dari pemerintah.
Undang-undang nomor 13 Tahun 2003 pasal 1 menjelaskan buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Pada penjelasan ini hubungan diperatas antara majikan dan buruh tidak terlihat secara jelas.

32 komentar:

  1. apakah buruh termasuk aset negara?

    BalasHapus
  2. Bagaimana status perbedaan ketenagaan kerja Honorer dalam pemerintahan dengan buruh dalam suatu perusahaan, Trimakasih.

    BalasHapus
  3. Terimakasih Sangat Bermanfaat

    BalasHapus
  4. TERIMA KASIH
    SANGAT BERMANFAAT

    BalasHapus
  5. Terima kasih pak ikmunya bermanfaat,

    ijin bertabya pak, apakah ada jam batasan kerja untuk buruh pak ?? misal harus diatas 8 jam atau 2 jam

    BalasHapus
  6. Terimakasin atas materinya ini bisa menjadi sebuah tolok ukur dan pembelajaran berharga bagi kami.

    BalasHapus
  7. Trimakasih atas ulasanya tetang buruh sehingga memberikan tambahan pengetahuan bagi kami para mahasiswa

    BalasHapus
  8. Muhammad sugiarto 043363005
    Apakah undang-undang perburuhan hanya diperuntukan pada pekerja pabrik, atau perusahaan besar saja, sedangkan pekerjaa disektor home industri, mendapat perlindungan dengan hukum perburuhan.
    terima kasih

    BalasHapus
  9. Apakah buruh dengan pegawai honorer tingkatannya sama ,sedangkan buruh upahnya lebih tinggi dari pada honorer dan sedangkan honorer Gaji di tetapkan oleh pemerintah daerah yg gaji nya lebih kecil. Apa pemerintah bisa mensetarakan soal gaji?

    BalasHapus
  10. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus