Pada waktu pendudukan Inggris, Thomas Stamford Raffles sebagai orang
yang anti perbudakan pada tahun 1816 mendirikan “The Java Benevolent
Institution”, yaitu suatu lembaga yang bertujuan menghapuskan
perbudakan.
Pemerintah Hindia Belanda mulai mengadakan peraturan-peraturan
tertentu tentang perbudakan yaitu peraturan yang melarang dimasukkannya
budak-budak ke Pulau Jawa, yaitu dalam Stbl. 1817 No.42. secara prinsip
diakui oleh Pemerintah Hindia Belanda dengan jalan menetapkannya didalam
Regeringsreglement tahun 1818, yaitu semacam UUD Hindia Belanda.Baru pada tahun 1854 dalam Regeringsreglement1854 Pasal 115 sampai 117 yang kemudian menjadi Pasal-pasal 169 sampai Staatsergelling 1926, dengan tegas dapat dikatakan, bahwa Indonesia secara resmi tidak terdapat perbudakan.
2. Kerja Ulur atau Peruluran
Dimana ketidakbebasan seseorang terletak pada terikatnya suatu kebun tertentu. Terjadinya setelah Jan Pieterzoon Coen pada tahun 1621 dan 1622 termasuk Pulau Banda, denagn membunuh penduduk atau mengangkut keluar sebagai budak.
Penghapusan Kerja Ulur tersebut diperintahkan dengan Undang-undang tahun 1859 Stbl.46, yang pelaksanaannya diatur dalam ordonantie tahun 1859 Stbl.48.
3. Kerja Hamba
Kerja Hamba ini terjadi bila seseorang menyerahkan dirinya sendiri atau orang lain yang ia kuasai, atas pemberian pinjaman sejumlah uang. Pekerjaan yang dilakukan oleh seseorang hamba untuk kepentingan orang yang meminjamkan uang itu biasanya adalah untuk melunasi hutangnya ataupun untuk mencicil hutangnya, tetapi hanya untuk membayar bunganya saja.
4. Pekerjaan Rodi
Rodi digolongkan dalam tiga golongan yaitu:
• Rodi-Gubernemen, yaitu rodi untuk kepentingan Gubernemen dan pegawai-pegawainya.
• Rodi-Perorangan, yaitu rodi bukan untuk kepentingan Gubernemen dan pegawai-pegawainya.
• Rodi-Desa, yaitu rodi untuk keperluan desa.
5. Poenale Sanksi
Poenale Sanksi adalah ancaman pidana, terutama ats penolakan untuk bekerja dengan melarikan diri dan dapat mengangkut buruh kembali ke perusahaan dengan bantuan polisi.
Selama tiga setengah abad sejak abad ke-16, bangsa Indonesia dijajah oleh Belanda yang ketika itu mempunyai tujuan utama untuk mencari wilayah baru yang dapat dijadikan koloni dalam rangka memperluas kekuasaan, menambah kekayaan kerajaan, dan melakukan penyebaran agama.
Apabila
perhitungan jarak antar generasi adalah 25 tahun, maka penjajahan telah
mengubah sistem sosial, norma dan budaya bangsa Indonesia selama lebih
dari 10 generasi, dimana orang pribumi telah dibiarkan miskin dan bodoh
sehingga dengan leluasa kaum penjajah dapat mengeruk kekayaan alam dari
wilayah jajahannya.
Sejak awal kolonialisasi, kaum penjajah telah memperlakukan orang-orang pribumi hanya sebagai budak yang tidak memiliki status hukum
dan boleh diperdagangkan. Hal ini tergambar dalam sistem hukum yang
diterapkan di wilayah jajahan dengan menetapkan bahwa “Burgerlijk
Wetboek” atau Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang diberlakukan sejak
tahun 1823, termasuk di dalamnya norma dan aturan mengenai perburuhan, tidak berlaku bagi orang pribumi.
Selanjutnya,
perlakuan terhadap pribumi sebagai budak belian tersebut disahkan dalam
berbagai aturan resmi kolonial yang menurut Dr. Agusmidah, antara lain dituangkan dalam peraturan tentang Pendaftaran Budak (Stb 1819 No. 58), peraturan Pajak atas Pemilikan Budak (Stb. 1820 No. 39a), dan berbagai peraturan (reglemen)
lain yang memperkuat kedudukan kaum penjajah di atas orang-orang
pribumi dan praktek-praktek perbudakan lainnya di wilayah Hindia
Belanda.
Pada saat Inggris menguasai beberapa bagian wilayah nusantara pada tahun 1811-1814, Gubernur Jenderal Thomas Stanford Raffles telah melarang dan menghapuskan praktek perbudakan dan praktek kerja paksa (rodi) di wilayah kekuasaannya dengan men-dirikan “the Java Benevolen Institution“.
Namun
ketika Belanda menguasai kembali wilayah yang dahulu menjadi wilayah
jajahannya, maka ketentuan mengenai praktek perbudakan dan kerja rodi
kembali berlaku yang kemudian diikuti oleh berbagai perlawanan dari kaum
pribumi di hampir seluruh wilayah Hindia Belanda, seperti perlawanan
yang dilakukan antara lain oleh Pangeran Diponegoro, Sentot Alibasyah,
Teuku Umar, Cut Nyak Dien, Pangeran Padri, Sisingamangaraja, Pattimura,
Dewi Sartika dan banyak pahlawan yang gugur dalam rangka menentang
praktek perbudakan di wilayah nusantara.
Setelah
memperoleh banyak perlawanan di wilayah jajahan dan adanya gerakan
global yang menentang praktek perbudakan, Belanda mulai mengubah
strategi dengan memperlunak praktek perbudakan menjadi sistem “perhambaan” (bediende) dimana seseorang harus menyerahkan jasa dan tenaganya kepada orang lain yang bertindak sebagai tuan atau pemberi pekerjaan (bukan orang yang menggunakan jasa dan tenaga orang lain) tanpa menggunakan kesepakatan yang tertuang dalam perjanjian kerja dengan upah yang ditentukan secara sepihak oleh si tuan atau pemberi pekerjaan atas dasar pengabdian, kesetiaan (loyal) dan kedekatan emosi secara pribadi dengan pemberi pekerjaan.
Dengan sistem hubungan kerja tersebut, Belanda membedakan orang-orang yang bekerja di wilayah jajahannya menjadi:
1. pekerja atau pegawai di bidang administrasi pemerintahan (ambtenaar);
2. pekerja di perusahaan-perusahaan (perkebunan) milik Belanda; dan
3. pekerja atau buruh lepas.
Ketika
Indonesia memproklamasikan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945
setelah 350 tahun dijajah, sistem kerja dan pembedaan pekerja belum sempat direformasi,
sehingga masih ada pembedaan struktur warga negara yang melaksanakan
pekerjaan di Indonesia yakni warga negara yang bekerja sebagai:
1. pegawai negeri sipil,
2. pegawai negeri militer,
3. pegawai badan usaha milik negara, dan
4. pegawai swasta murni, serta ditambah dengan
5. pekerja lepas, yakni pekerja yang melaksanakan pekerjaan berdasarkan kebutuhan (pekerja informal).
Hingga
saat ini, semua pekerja dan pegawai yang melaksanakan pekerjaan relatif
tanpa kesepakatan kerja yang dibuat antara pekerja/buruh (employee) sebagai penyedia jasa dan tenaga dengan pengguna jasa dan tenaga (employer) dalam kedudukan yang setara (equal) yang dituangkan dalam perjanjian kerja.
Dalam era industri saat ini, perjanjian kerja sebagai wujud dari kesepakatan kerja merupakan hal yang sangat esensial dalam hubungan kerja karena upah/imbalan diberikan dalam bentuk uang.
Ketika masyarakat Indonesia sudah terbiasa dengan hubungan kerja tanpa
perjanjian kerja, maka masyarakat tidak memiliki jaminan kepastian
terhadap upah sebagai imbalan atas jasa dan tenaga yang telah diberikan.
Dengan demikian, hingga saat ini belum ada tolok ukur yang pasti untuk jasa dan tenaga sumber daya manusia di Indonesia,
sehingga pemberian upah masih tetap didasarkan pada sistem hubungan
kerja warisan jaman penjajahan yakni hubungan kerja antara pemberi kerja
yang bertindak sebagai TUAN dengan KULI, KACUNG/PESURUH atau BURUH (KKB).
Upah yang diberikan oleh seorang tuan kepada kuli biasanya dilakukan secara borongan berdasarkan kesepakatan tidak tertulis terhadap volume pekerjaan tertentu tanpa ada kejelasan tolok ukur harga untuk jasa dan tenaga manusia yang telah diberikan.
Upah yang diberikan kepada seorang kacung atau pesuruh biasanya dilakukan berdasarkan kehadiran atau absensi dalam rangka menunggu untuk diperintah tanpa ada kejelasan tolok ukur bobot pekerjaan.
Upah yang diberikan kepada seorang buruh atau pekerja lepas biasanya dilakukan berdasarkan sistem upah harian, dimana satu hari dihitung 24 jam, atau sistem upah bulanan
dimana satu bulan dihitung antara 25 hingga 30 hari kerja. Pekerjaan
diberikan setiap saat, tanpa mengenal waktu, kemampuan dan keahlian dari
penyedia jasa dan tenaga.
Tidak
adanya perjanjian kerja dalam hubungan kerja mengakibatkan masyarakat
cenderung terbiasa dengan sistem bekerja untuk kepentingan diri sendiri,
tanpa standar upah, tanpa jaminan keselamatan, tanpa jaminan kesehatan, tanpa jaminan pensiun, tanpa tolok ukur keahlian dan keterampilan, dan tidak ada kenaikan upah secara berkala
yang seharusnya disesuaikan dengan bertambahnya pengalaman kerja, yang
dalam jangka panjang akan menjadi beban bagi lingkungan sosial.
Di
lain pihak, pengguna jasa dan tenaga pun akan merasa kesulitan dalam
menentukan upah sehingga mereka membuat pehitungan upah sendiri yang
disesuaikan dengan modal dan kelangsungan usaha, serta tidak menghargai
jasa dan tenaga yang telah digunakannya.
Tidak adanya kesetaraan kedudukan hukum
antara penyedia jasa dan tenaga dan pengguna jasa dan tenaga akan
mengakibatkan ketidak-adilan, ketidak-percayaan satu sama lain, dan
bahkan akan menjurus pada sering terjadinya sengketa perburuhan.
Menghadapi
era perdagangan bebas tanpa tolok ukur upah yang jelas yang tertuang
dalam perjanjian kerja, justru akan membuat masyarakat semakin miskin
dan tertindas, karena sudah menjadi sifat dasar para pemodal (investor),
pengusaha dan orang yang bertindak sebagai tuan untuk membayar jasa dan
tenaga pekerja/buruh dengan upah yang serendah mungkin demi keuntungan
yang sebesar-besarnya.
Mereka
tidak akan segan untuk melakukan kolusi dengan otoritas ketenagakerjaan
untuk menghasilkan aturan yang menguntungkan dengan menggunakan sedikit
tekanan dan iming-iming dukungan untuk memperoleh jabatan dan kekayaan.
Pembedaan warga negara yang bekerja (work force)
menjadi pegawai negeri sipil, pegawai negeri militer, pegawai badan
usaha milik negara, pegawai perusahaan swasta, dan pekerja lepas
(pekerja informal) dengan standar upah yang berbeda-beda yang ditentukan
secara sendiri-sendiri oleh masing-masing institusi akan menciptakan
tatanan masyarakat yang terkotak-kotak, sehingga akan mudah memicu
kecemburuan sosial karena warga masyarakat menganggap bahwa pekerjaan
yang satu lebih mulia daripada pekerjaan yang lain, dan upah atau gaji
institusi kerja yang satu akan lebih terjamin daripada institusi kerja
yang lain. Dalam lingkungan masyarakat seperti ini, akan sering terjadi
perilaku kolusi, korupsi dan nepotisme dalam pelaksanaan pekerjaan.
Pembedaan upah atau gaji sebagai imbalan atas jasa dan tenaga yang tidak dituangkan dalam perjanjian kerja, tapi hanya didasarkan pada lingkup jabatan (autonomy) yang diuraikan dalam jenjang kepangkatan, dan pada kewenangan (authority) yang diuraikan dalam tingkat eselon, akan membuahkan kinerja yang tidak efektif dan tidak efisien karena tanggungjawab terhadap pelaksanaan pekerjaan akan mengerucut pada pucuk pimpinan sebagai pejabat yang berwenang.
Masyarakat
pekerja atau pegawai akan terbiasa dengan pembebanan segala urusan dan
tanggungjawab pekerjaan kepada atasan, sedangkan anak buah akan
cenderung lepas tanggungjawab. Selanjutnya, masyarakat akan mengukur
kesuksesan bukan atas dasar prestasi, namun hanya pada didasarkan atas
pencapaian jabatan yang tinggi dengan gaji, tunjangan dan fasilitas yang
besar, dengan kewenangan yang seluas-luasnya.
Tidak adanya perjanjian kerja dalam hubungan kerja akan membuat Pemerintah mengalami kesulitan dalam menghitung statistik angkatan kerja (work force) secara nasional karena banyaknya angka pengangguran tidak kentara (disguished unemployment) yang akan berdampak pada terjadinya kesenjangan sosial
antara kelompok yang secara nyata telah memberikan jasa dan tenaga
tetapi mendapat upah yang tidak sesuai, dengan kelompok yang tidak
memberikan jasa dan tenaga namun tetap mendapat upah sesuai peraturan
yang berlaku.
Dalam
masyarakat yang tidak memiliki kebiasaan menggunakan perjanjian kerja
yang tertulis dalam rangka melaksanakan pekerjaan, maka tidak
terhindarkan terjadinya eksploitasi terhadap pekerja anak, sulitnya kesempatan kerja, tidak ada standar kometensi dan profisiensi, dan tidak ada jaminan untuk hari tua.
Tidak
adanya standar upah yang ditetapkan secara nasional justru akan memicu
persaingan yang tidak sehat karena akan terjadi kolusi, korupsi dan
nepotisme dalam melaksanakan pekerjaan ditambah dengan tidak adanya
hubungan kerja yang harmonis yang didasarkan pada rasa saling menghargai
dan saling menghormati antara pekerja yunior dan senior.
Perjanjian kerja tertulis yang didasarkan pada pesan Rasulullah yakni kepastian pemberian upah, kejelasan tolok ukur kerja dan kesepakatan kerja yang didasarkan pada kesetaraan akan melindungi pekerja antar negara dari eksploitasi jasa dan tenaga oleh pengguna jasa dan tenaga pekerja di negara lain, dengan syarat bahwa perjanjian kerja wajib ditandatangani sendiri oleh pekerja dan pengguna jasa dan tenaga di negara lain tanpa perantara.
Dokumen perjanjian dibuat dalam sekurang-kurangnya 4 (empat) rangkap, yang selanjutnya 1 (satu) salinan perjanjian kerja disimpan oleh pekerja, 1 (satu) salinan disimpan oleh pengguna jasa dan tenaga, 1 (satu) salinan dikirimkan kepada kantor perwakilan negara di luar negeri dimana pekerja melaksanakan perjanjian kerja, dan 1 (satu) salinan disampaikan kepada otoritas ketenagakerjaan negara setempat.
Dalam upaya melindungi tenaga kerja nasional di luar negeri, maka otoritas ketenagakerjaan nasional wajib membuat nota kesepahaman (memorandum of understanding) dengan otoritas ketenagakerjaan di negara lain yang pada prinsipnya berisi substansi dari pesan Rasulullah SAW,
yakni jaminan kepastian pemberian upah, jaminan tolok ukur kerja, dan
jaminan kesetaraan kedudukan antara pekerja dengan pengguna jasa dan
tenaga sesuai peraturan perundang-undangan di negara tempat perjanjian
kerja dilaksanakan.
Sebaliknya, untuk melindungi tenaga kerja di dalam negeri, maka otoritas ketenagakerjaan nasional wajib meminta kepada pengguna jasa dan tenaga kerja asing untuk menyerahkan salinan perjanjian kerja yang telah disepakati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar