Rabu, 13 November 2013

Masalah Ketenagakerjaan saat ini



Masalah ketenagakerjaan yang paling sering timbul dan paling hakiki selama ini bersumber dari penegakan hukumnya. Demikian yang disampaikan Sri Nurhaningsih SH, Direktur Persyaratan Kerja Kesejahteraan & Analisis Diskriminasi, Dirjen Pembinaan Hubungan Industrial Jaminan Sosial Tenaga Kerja dari Kementrian Ketenagakerjaan.

“Kita menyadari bahwa masalah ketenagakerjaan yang paling hakiki adalah dari penegakan hukumnya. Berbagai upaya telah kami saksikan berkaitan dengan keluarnya Permenakertrans yang baru. Hal ini sudah jelas, bahwa penyerahan sebagian pekerjaan melalui penyedia jasa pekerja buruh hanya diperbolehkan lima kegiatan usaha saja,” jelas Sri pada seminar sehari Revamping the Outsourcing Regulation yang dilakukan di Jakarta belum lama ini.

Sri mengatakan, bahwa langkah-langkah yang telah diambil Direktorat Pengawasan, ialah telah dibentuknya pengawasan terpadu antara perusahaan, Apindo, dan Serikat Buruh, meskipun masih di tingkat pusat. Untuk perkembangan lebih lanjut akan diterapkan di provinsi. Langkah kedua yang telah diambil yakni berkoordinasi dengan Kementerian Dalam Negeri dan Badan Kepegawaian Negara.

“Sementara permenakertrans sifatnya masih menunggu revisi dari UU 13, karena pasal-pasal yang mengatur tentang penyerahan sebagian pekerjaan yakni pasal 65 & 66 termasuk pasal yang diuji materinya, karena yang diuji materi mau tidak mau, harus disempurnakan dan direvisi sesuai dengan keputusan Mahkamah Konstitusi, jadi permen ini merupakan solusi sebelum adanya UU 13,” ujarnya.



Ia melanjutkan, agar bisa meningkatkan pengetahuan bagi pekerja buruh, Kementerian Tenaga Kerja melalui dana APBN selalu memberikan kegiatan-kegiatan sosialisasi pelatihan. “Hal itu bermaksud agar pekerja buruh bisa memberikan kembali ilmunya kepada lingkupnya. Supaya jika pekerjanya pintar tidak akan protes, namun bisa memahami.”

Mengenai pelaksanaan outsourcing, sebelum berlakunya Permenakertrans No. 19, perusahaan menetapkan sendiri dalam menentukan yang core dan mana yang non-core. Contohnya pada bidang perbankan yang tidak sama dalam menetapkan core dan non-core, sehingga hal ini menjadi masalah bagi perusahaan sejenisnya. Namun setelah dikeluarkannya Permenakertrans, core dan non-core ditetapkan oleh Asosiasi Sektor Usaha. Hal ini dapat dilihat pada pasal 3 ayat 2.

Jam Kerja dan Upah Kerja Lembur Dalam Hukum Ketenagakerjaan

  • Berapa lama waktu kerja buruh/karyawan dalam sehari? 
- 7 jam dalam 1 hari dan 40 jam dalam 1 minggu untuk 6 hari kerja dalam seminggu  - 8 jam dalam 1 hari dan 40 jam dalam 1 minggu untuk 5 hari kerja dalam seminggu
  Dasar Hukum : Pasal 77 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
  • Apakah Pekerja Wajib bekerja pada Hari-Hari Libur Resmi? 
Pekerja/buruh tidak wajib bekerja pada hari-hari libur Resmi. Namun  pengusaha dapat mempekerjakan pekerja/buruh apabila jenis dan sifat pekerjaan tersebut harus dilaksanakan dan dijalankan secara terus menerus. Bagi Pengusaha yang mempekerjakan buruh/pekerja pada hari-hari libur nasional/ Resmi wajib membayar upah lembur. (Lihat Pasal 85 UU Ketenagakerjaan).
  •  Bagaimana Cara Menghitung Upah Kerja Lembur ?
Lihat Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 102/ MEN/ VI/ 2004 Tentang Waktu Kerja Lembur dan Upah Kerja Lembur. Cara menghitung upah se jam adalah 1/173 X upah sebulan ( Pasal 8 ayat (2) KepMen No. 102/ MEN/ VI/ 2004).

Pasal 11 KEP.102/MEN/VI/2004, menyatakan :

1. Apabila kerja lebur dilakukan pada hari kerja maka upah lembur jam kerja pertama dibayar 1.5 x upah sejam, untuk setiap jam kerja lembur berikutnya dibayar sebesar 2 x upah sejam

2. Apabila kerja lembur dilakukan pada hari istirahat mingguan dan/atau hari libur resmi untuk waktu 6 hari kerja dan 40 jam seminggu maka upah lembur untuk 7 jam kerja pertama dibayar 2x upah sejam dan jam ke 8 dibayar 3x upah sejam dan jam ke 9 dan ke 10 dibayar 4x upah sejam.

     Kalau hari libur resmi jatuh pada kerja terpendek maka upah lembur 5 jam pertama dibayar 2x upah sejam dan jam ke 6 dibayar 3x upah sejam dan upah lembur ke 7 dan ke 8 dibayar 4 x upah sejam

3. Apabila kerja lembur dilakukan pada hari istirahat mingguan dan/atau hari libur resmi untuk waktu kerja 5 hari kerja dan 40 jam seminggu maka perhitungan upah kerja lembur untuk 8 jam kerja pertama dibayar 2x upah sejam, jam kerja ke 9 dibayar 3x upah sejam dan jam kerja ke 10 dan ke 11 dibayar 4x upah seja

 Sanksi Hukum: 
- Pelanggaran terhadap Ketentuan Pasal 78 ayat (1) UU No. 13/ 2003 dikenakan denda paling sedikit Rp. 5.000.000 ( Lima Juta Rupiah) dan paling banyak Rp. 50.000.000 (Lima Puluh Juta Rupiah). (Lihat Pasal 188 UU Ketenagakerjaan).
- Pelanggaran terhadap Ketentuan Pasal 78 ayat (2) UU No. 13/ 2003 atau bagi Pengusaha yang tidak membayar upah kerja lembur maka dapat dikenai sanksi pidana minimal 1 bulan kurungan dan paling lama 12 bulan kurungan dan/denda paling sedikit Rp. 10.000.000 (Sepuluh Juta Rupiah) dan paling banyak Rp. 100.000.000 (Seratus Juta Rupiah). (Lihat Pasal 187 ayat (1) UU No. 13/ 2003 Tentang Ketenagakerjaan.
- Sanksi Pidana penjara, kurungan dan/atau denda tidak menghilangkan kewajiban Pengusaha membayar hak-hak dan/atau ganti kerugian kepada tenaga kerja atau pekerja/ buruh (Lihat Pasal 189 UU No. 13/ 2003 tentang Ketenagakerjaan).

Sosialisai dan Diskusi Hukum Ketenagakerjaan

Belakangan ini terjadi permasalahan hubungan industrial di perusahaan penerima pekerjaan/kontraktor dari PT. Tanjungenim Lestari Pulp And Paper (TeL) seperti pemogokan di PT. Tangkas, PHK di PT. Inti Bumi Mas, pesangon di  PT. Tri Tunggal Jade.  Permasalahan ini menimbulkan iklim tidak harmonis dalam bekerja dan berusaha dilingkungan PT. TeL.  Oleh karena itu kegiatan ini diadakan sebagai sarana dialog antara PT. TeL dan kontraktrnya dengan tujuan untuk mencegah terjadinya pelanggaran hukum ketenagakerjaan yang dapat mengakibatkan perselisihan.  Hukum Ketenagakerjaan yang dimaksud adalah hal yang berkaitan dengan Perjanjian Kerja,Undang-Undanga No. 13/2013 Tentang Ketenagakerjaan, Permenakertrans No. 19/2012 Tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain dan bila terjadi perselisihan maka menggunakan Undang-Undang No. 4/2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.


Demikian disampaikan oleh Raden Ahmad Najamamudin, General Affair Manager PT. TeL pada pembukaan acara Sosialisasi Dan Diskusi Hukum Perburuhan yang diadakan di Graha Medang PT. TeL (4/6-2013).

Ia menambahkan bahwa PT. TeL adalah perusahaan yang berkomitmen untuk melaksanakan hukum di Indonesia dalam semua kegiatan usahanya.

Adrian Sartikon, Human Resource Manager PT. TeL, menyampaikan bahwa acara seperti ini perlu dilakukan sekurangnya sekali sebulan.  Dengan komunikasi yang intensif maka permasalahan yang ada pada perusahaan pemberi kerja, penerima pekerjaan dan karyawannya dapat dicegah dan diselesaikan dengan baik.

Kegiatan yang dipandu oleh Arismawan, Industrial Relation PT. TeL ini dihadiri oleh peserta dari PT. Carang Utama, PT. Inti Bumi Mas, PT. Trac, PT. Teddy Bersaudara, PT. Blue Bird, Mini Market Tasya. Serikat Pekerja PT. TeL (SPPT TeL) dan Manajemen PT. TeL.

Selanjutnya Arismawan memberikan presentasi tentang hak-hak normatif pekerja seperti adanya perjanjian kerja, upah, istirahat tahunan, upah lembur, cuti melahirkan, istirahat tahunan, menjadi anggota serikat pekerja, Jamsostek, K3, menunaikan ibadah, cuti haid, istirahat sakit dan hak-hak pekerja perempuan.  Hak-hak normatif ini harus diberikan karena merupakan perintah dari undang-undang.  Selain itu Arismawan juga menyampaikan tentang dasar-dasar hukum perjanjian, dasar hukum outsourcing, badan hukum dan legalitas perusahaan.

Pada sesi diskusi ditemukan masalah ketenagakerjaan yang dialami oleh perusahaan penerima pekerjaan dari PT. TeL seperti tidak menjadi peserta Jamsostek, upah dibawah upah minimum, PHK sepihak, praktek anti serikat pekerja dan bekerja tanpa perjanjian kerja.
Heriyanto, Sekretaris SPPT TeL menyampaikan bahwa upah minimum di Sumsel adalah Rp. 1.630.000 jadi semua pekerja tidak boleh menerima upah dibawah upah minimum.  Ia juga menemukan adanya kontraktor yang melakukan PHK tanpa membayar pesangon padahal sudah bekerja bertahun-tahun.  Heriyanto mempertanyakan apakah ada sanski dari PT. TeL terhadap perusahaan kntraktor/penerima pekerjaan yang melanggar?

Perwakilan dari perusahaan penerima pekerjaan yang hadir menyampaikan sangat mengapresiasi acara diskusi ini dan akan menyampaikan hasil diskusi ini kepada pimpinan di perusahaan masing-masing dan agar PT. TeL membuat klausul dalam perjanjian kontraknya dengan memasukkan kepatuhan para pihak atas hukum ketenagakerjaan di Indonesia.

PENGUPAHAN DAN JAMINAN SOSIAL TENAGA KERJA

Tujuan pekerja melakukan pekerjaan adalah untuk mendapatkan penghasilan yang cukup untuk membiayai kehidupannya bersama keluarganya, yaitu penghasilan yang layak bagi kemanusiaan.
Penghasilan tadi dapat berupa upah yang diterimanya secara teratur dan berkala dan dapat pula berupa jaminan sosial.


A. U P A H
Kebijakan pemerintah terhadap upah pekerja diatur dalam Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi “Setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”.
Kebijakan tersebut diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 88 yang berbunyi : “Setiap pekerja berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”.
Untuk mewujudkan penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, pemerintah menetapkan kebijakan pengupahan yang meliputi :
a. Upah minimum.
b. Upah kerja lembur.
c. Upah tidak masuk kerja karena berhalangan.
d. Upah tidak masuk kerja karena melakukan kegiatan lain di luar pekerjaannya.
e. Upah karena menjlankan hak waktu istirahat kerja.
f. Bentuk dan cara pembayaran.
g. Denda dan potongan upah.
h. Hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah.
i. Struktur dan skala pengupahan proposional.
j. Upah untuk pembayaran pesangon.
k. Upah untuk perhitungan pajak penghasilan.


Upah minimum yang diatur dalam Pasal 89, terdiri dari :
a. Upah minimum berdasarkan wilayah propinsi atau kabupaten atau kota (UMP/UMK).
b. Upah minimum berdasarkan sektor wilayah propinsi atau kabupaten/kota.
Upah minimum ditetapkan oleh Gubernur dengan rekomendasi dari dewan Pengupahan Provinsi dan atau Bupati/Wali Kota.
Pasal 90 ayat (1) Menjelaskan bahwa pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah daripada Upah Minimum.
Pasal 90 ayat (2) Menjelaskan bahwa pengusaha yang tidak mampu membayar Upah Minimum dapat melakukan penangguhan.
Tata cara penangguhan pelaksanaan Upah Minimum diatur lebih lanjut dalam Kepeutusan Menteri No. 231 Tahun 2003.
Menurut Pasal 3 Keputusan Menteri tersebut dijelaskan bahwa :
a. Permohonan penangguhan pelaksanaan Upah Minimum diajukan pengusaha kepada Gubernur melalui Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan Provinsi paling lambat 10 hari sebelum tanggal berlakunya Upah Minimum.
b. Permohonan penangguhan di dasarkan atas kesepakatan tertulis antara pengusaha dengan pekerja/serikat pekerja yang tercatat.
Pasal 93 ayat (1) Menjelaskan bahwa upah tidak dibayar bila pekerja tidak melakukan pekerjaan (AZAS NO WORK NO PAY).
Pasal 93 ayat (2) Menjelaskan bahwa ketentuan tersebut tidak berlaku dan pengusaha wajib membayar upah apabila ;
a. Pekerja sakit salama 12 bulan berturut-turut, dengan surat keterangan dokter.
b. Pekerja perempuan yang sakit pada hari 1 dan ke 2 pada saat haid, sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan.
c. Pekerja tidak masuk kerja karena pekerja menikah, menikahkan, mengkhitankan, membaptiskan anaknya, istri melahirkan atau keguguran kandungan, suami atau istri atau anak atau menantu atau orang tua atau mertua atau anggota keluarga dalam satu rumah meninggal dunia.
d. Pekerja tidak dapat melakukan pekerjaannya karena sedang menjalankan kewajiban terhadap negara.
e. Pekerja tidak dapat melakukan pekerjaannya karena menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya.
f. Pekerja bersedia melakukan pekerjaan yang telah dijanjikan, tetapi pengusaha tidak mempekerjakannya, baik karena kesalahan sendiri maupun halangan yang seharusnya dapat dihindari pengusaha.
g. Pekerja melaksanakan hak istirahat.
h. Pekerja melaksanakan tugas pekerja/serikat pekerja atas persetujuan pengusaha.
i. Pekerja melaksanakan tugas pendidikan dari peru-sahaan.
Pasal 93 ayat (3) Menjelaskan bahwa upah yang dibayarkan kepada pekerja yang sakit selama 12 bulan berturut-turut diatur sebagai berikut :
a. Untuk 4 bulan pertama, dibayar 100% x upah.
b. Untuk 4 bulan ke dua dibayar 75% x upah.
c. Untuk 4 bulan ke tiga dibayar 50% x upah.
d. Untuk bulan berikutnya dibayar 25% dari upah sebelum pemutusan hubungan dilakukan pengusaha.
Pasal 93 ayat (4) Menjelaskan bahwa upah yang dibayarkan kepada pekerja yang tidak masuk bekerja sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (2) huruf c diatur sebagai berikut :
a. Pekerja menikah, dibayar untuk selama 3 hari.
b. Menikahkan anaknya, dibayar untuk selama 2 hari.
c. Mengkhitankan anaknya, dibayar untuk selama 2 hari.
d. Membaptiskan anaknya dibayar untuk selama 2 hari.
e. Istri melahirkan atau keguguran kandungan, dibayar untuk selama 2 hari.
f. Suami/Istri, orang tua/mertua atau anak atau menantu meninggal dunia, dibayar untuk selama 2 hari.
g. Anggota keluarga dalam 1 rumah meninggal dunia, dibayar untuk selama 2 hari.
Pasal 93 ayat (5) Menjelaskan bahwa pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perundang-undangan atau perjanjian kerja bersama.


Pelaksanaan upah minimum pada pekerja di Kabupaten Kota di Propinsi Jawa Tengah yang meliputi 35 Kabupaten/Kota dapat dilihat pada Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah. Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah tentang upah minimum tersebut tiap-tiap tahun akan dirubah/diganti dalam rangka :
a. Meningkatkan kesejahteraan pekerja.
b. Mendorong peningkatan produksi dan produktivitas kerja.


Pada tahun 2007 ini pelaksanaan upah minimum untuk pekerja di Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah ditetapkan dengan Surat Keputusan Gubernur No.561.4/78/2006 tentang Upah Minimum pada 35 Kabupaten/ Kota di Provinsi Jawa Tengah tahun 2007 dan diberlakukan tanggal 1 Januari 2007.


B.JAMINAN SOSIAL TENAGA KERJA (JAMSOSTEK)
B.1. SEJARAH
Undang-Undang yang mengatur jaminan sosial pertama kali di Indonesia adalah Undang-Undang No 33 Tahun 1947 tentang kecelakaan (dalam hubungan kerja).
Undang-Undang tersebut memberikan santunan/ganti rugi kepada pekerja yang mendapat kecelakaan dalam hubungan kerja.
Pembayaran ganti rugi tersebut didasarkan pada adanya resiko kemungkinan mendapat kecelakaan pada saat menjalankan pekerjaan. Resiko tersebut menjadi tanggung jawab pengusaha.
Dasar/azas ini disebut RESQUE PROFESIONAL. Ada 4 faktor sebagai syarat mendapat ganti rugi tersebut yakni :
a. Kecelakaan benar-benar terjadi.
b. Kecelakaan menimpa pekerja.
c. Kecelakaan terjadi di perusahaan yang diwajibkan membayar ganti rugi.
d. Kecelakaan terjadi dalam hubungan kerja.
Pelaksanaan Undang-Undang Kecelakaan No.33 Tahun 1947 diatur dalam Peraturan Pemerintah No.33 Tahun 1977 tentang Asuransi Sosial Tenaga Kerja (ASTEK).
ASTEK ini mempunyai 3 macam program yakni :
a. Asuransi Kecelakaan Kerja (AKK).
b. Asuransi Kematian (AK).
c. Tabungan Hari Tua (THT).


Iuran Program ASTEK diatur sebagai berikut :
a. AKK : dibagi dalam 10 kelas, iurannya 2,4 ‰ – 36 ‰ x upah/ bulan, ditanggung perusahaan.
b. AK : 0,5% x upah/ bulan, ditanggung perusahaan.
c. THT iurannya dibagi 2 :
- 1,5% x upah / bulan ditanggung perusahaan.
- 1% x upah ditanggung pekerja.
Berhubung dengan iuran dalam program ASTEK itu kecil, sehingga santun yang diterima pekerja tidak seimbang denhgan macamnya peristiwa sosial yang dialami pekerja, maka Undang-Undang No.33 Tahun 1947 dan Peraturan Pemerintah No. 33 Tahun 1977 tersebut dinyatakan tidak berlalu lagi sebelah diundangkan Undang-Undang No.3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja.


B.2. DASAR HUKUM :
- Undang-Undang No.3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja
- Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja.
- Peraturan Pemerintah No. 64 Tahun 2005 tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Pemerintah No.14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja.


B.3. DEFINISI :
Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek) adalah :
Suatu perlindungan bagi tenaga kerja dalam bentuk santunan berupa uang sebagai pengganti sebagian dari penghasilan yang hilang atau berkurang dan pelayanan sebagai akibat peristiwa atau keadaan yang dialami oleh tenaga kerja berupa kecelakaan kerja, sakit, hamil, bersalin, mencapai hari tua dan meninggal dunia.


B.4. SYARAT KEPESERTAAN
a. Pengusaha yang mempekerjakan 10 orang atau lebih atau
b. Membayar upah paling sedikit Rp. 1.000.000,- wajib mengikuti program Jamsostek.


B.5. PROGRAM JAMSOSTEK DAN IURANNYA
1. Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK)
Besarnya iuran berdasarkan kelompok jenis usaha :
- Kelompok I : 0,24% x upah / bulan.
- Kelompok II : 0,54% x upah / bulan.
- Kelompok III : 0,89% x upah / bulan.
- Kelompok IV : 1,27% x upah / bulan.
- Kelompok V : 1,74% x upah / bulan.
Iuran tersebut ditanggung pengusaha/perusahaan.


2. Jaminan Kematian (JK) besarnya iuran 0,30% x upah/ bulan, ditanggung oleh perusahaan
3. Jaminan Hari Tua (JHT) besarnya iuran:
a. 3,7% x upah / bulan ditanggung perusahaan.
b. 2% x upah / bulan ditanggung oleh pekerja.
4. Jaminan Pemeliharaan Kesehatan, besarnya iuran :
a. 6% x upah / bulan untuk pekerja yang sudah berkeluarga.
b. 3% x upah / bulan untuk pekerja yang belum nikah.
Iuran ditanggung perusahaan.


B.6. KEWAJIBAN PENGUSAHA JIKA TERJADI KECELAKAAN KERJA
a. Wajib memberikan pertolongan pertama pada kecelakaan bagi pekerja yang tertimpa kecelakaan.
b. Wajib melaporkan setiap kecelakaan kerja yang menimpa pekerja pada KANDISNAKERTRANS dan Badan Penyelenggara terdekat sebagai laporan kecelakaan kerja tahap I dalam waktu 2 x 24 jam sejak terjadi kecelakaan.
c. Wajib melaporkan akibat kecelakaan kerja kepada KANDISNAKER-TRANS dan Badan Penyelenggara terdekat sebagai laporan kecelakaan kerja tahap II dalam waktu 2 x 24 jam setelah ada surat keterangan dokter pemeriksa yang menyatakan bahwa pekerja tersebut :
- Sementara tidak mampu bekerja telah berakhir.
- Cacat sebagian untuk selama-lamanya.
- Cacat total untuk selama-lamanya baik fisik dan mental.
- Meninggal dunia.


B.7. BESARNYA JAMINAN KECELAKAAN KERJA
(Peraturan Pemerintah No. 64 Tahun 2005 tentang perubahan keempat atas Peraturan Pemerintah No.14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program Jamsostek).
I. SANTUNAN
1. Santunan Sementara Tidak Mampu Bekerja (STMB) 4 bulan pertama sebesar 100% x upah/bulan, 4 bulan kedua sebesar 75% x upah/bulan, bulan seterusnya 50% x upah/bulan.
2. Santunan Cacat
a. Santunan cacat sebagian untuk selama-lamanya dibayarkan secara sekaligus, besarnya …. % sesuai label x 70 bulan upah.
b. Santunan cacat total untuk selama-lamanya dibayarkan secara sekaligus dan secara berkala besarnya adalah :
b.1 Santunan sekaligus sebesar 70% x 70 bulan upah.
b.2 Santunan berkala sebesar Rp. 200.000, selama 24 bulan.
c. Santunan cacat kekurangan fungsi dibayarkan secara sekaligus, besarnya santunan … % berkurangnya fungsi x … % sesuai label x 70% bulan upah.
3. Santunan Kematian dibayarkan secara sekaligus dan secara berkala yang diatur sebagai berikut :
a. Santunan sekaligus sebesar 60% x 70 bulan upah, sekurang-kurangnya sebesar santunan kematian yakni Rp. 6.000.000,-.
b. Santunan berkala sebesar Rp. 200.000,- selama 24 bulan.
c. Biaya pemakaman sebesar 1.500.000,-.


II. PENGOBATAN DAN PERAWATAN SESUAI DENGAN BIAYA YANG DIKELUARKAN


1.dokter
2.obat
3.operasi
4.rontgen, laboratorium
5.perawatan puskesmas, rumah sakit umum kelas I
6.gigi
7.mata
8.jasa tabib/ sinshe/ tradisional yang telah mendapat uji resmi dari instansi yang berwenang. Seluruh biaya yang dikeluarkan (II.1 – II.8) dibayarkan maksimal Rp. 8.000.000,-


III. Biaya rehabilitasi harga berupa penggantian pembelian alat bantu (orthese) dan atau alat pengganti (prothese) diberikan satu kali untuk setiap kasus dengan patokan harga dari pusat rehabilitasi, Prof, dr. Suharso Surakarta ditambah 40% dari harga tersebut.


IV. Penyakit yang timbul karena hubungan kerja. Besarnya santunan dan biaya pengobatan / perawatan sama dengan I dan II.


V. Ongkos pengangkutan pekerja dari tempat kejadian kecelakaan kerja ke rumah sakit, penggantian biaya :
1. Bila menggunakan jasa angkutan darat sebesar Rp. 150.000,-.
2. Bila menggunakan jasa angkutan laut sebesar Rp. 300.000,-.
3. Bila menggunakan jasa angkutan udara sebesar Rp. 400.000,-.

TUJUAN PENGATURAN KESELAMATAN KERJA

TUJUAN KESELAMATAN KERJA
 
 a.   Melindungi tenaga kerja atas keselamatannya dalam melakukan pekerjaan.
b.  Menjamin keselamatan orang lain yang ada di tempat kerja.
c.   Memelihara sumber produksi agar dipergunakan secara aman dan efisien.
Guna melaksanakan Undang-Undang Keselamatan Kerja No. 1 Tahun 1970 ini diperlukan :
a.   Pegawai pengawas : ialah pegawai teknis berkeahlian khusus dari Departemen Tenaga Kerja yang ditunjuk oleh Menteri Tenaga Kerja untuk mengawasi pelaksanaan Undang-Undang Ketengakerjaan.
b.  Ahli Keselamatan Kerja ialah tenaga teknis berkeahlian khusus dari luar Departemen Tenaga Kerja yang ditunjuk oleh Menteri Tenga Kerja untuk mengawasi ditaatinya Undang-Undang Keselamatan Kerja No. 1  Tahun 1970.
c.   Panitya Pembina Keselamatan dan Kesehatan Kerja (P2K3) adalah panitia yang bertugas memberikan pertimbangan dan dapat membantu pelaksanaan usaha pencegahan kecelakaan dalam perusahaan yang bersangkutan serta dapat memberikan penjelasan dan penerangan efektif pada pekerja yang bersangkutan.
P2K3 ini dibentuk oleh Menteri Tenaga Kerja yang unsur-unsurnya terdiri dari :
a.   Wakil pimpinan perusahaan.
b.  Wakil buruh.
c.   Teknisi keselamatan kerja.
d.  Dokter perusahaan.
UNDANG-UNDANG NO. 1 TAHUN 1970 YANG MENGATUR TENTANG KESELAMATAN KERJA
Perlindungan keselamatan kerja masih diatur dengan Undang-Undang lama No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja. Undang-Undang tersebut diundangkan menggantikan Peraturan Keamanan Kerja yang diatur dalam VEILIGHEIDS REGLEMENT tahun 1910 yang mempunyai sifat REPRESIF (mengatasi setelah terjadi kecelakaan kerja di tempat kerja), berbeda dengan Undang-Undang No. 1 Tahun 1970 yang mempunyai sifat PREVENTIF (mencegah terjadinya kecelakaan kerja di tempat kerja).
Sifat Preventif diperlukan sekali pada saat ini karena dengan peraturan yang maju akan memberikan rasa aman bagi pekerja, dapat meningkatkan produksi dan produktivitas kerja.
Yang dimaksud keselamatan kerja adalah keselamatan yang bertalian dengan mesin, pesawat, alat kerja, bahan dan proses pengolahannya, landasan tempat kerja, lingkungan dan cara-cara melakukan pekerjaan.
Keselamatan kerja tersebut berlaku dalam ruang lingkup tempat kerja baik di darat, di dalam tanah, dipermukaan air, di dalam air maupun di udara yang berada di dalam wilayah kekuasaan hukum Republik Indonesia.
Yang dimaksud tempat kerja adalah tiap ruangan, lapangan, tertutup atau terbuka, bergerak atau tetap, dimana pekerja bekerja atau yang sering dimasuki pekerja untuk keperluan suatu usaha dan dimana terdapat sumber-sumber bahaya.
Dengan perumusan tadi, ruang lingkup berlakunya Undang-Undang    No. 1 Tahun 1970 ini ditentukan oleh tiga unsur ialah :
1.  Tempat dimana dilakukan pekerjaan bagi suatu usaha.
2.  Adanya pekerja yang bekerja di suatu usaha.
3.  Adanya bahaya kerja di tempat kerja.
Tidak selalu pekerja itu sehari-hari bekerja dalam suatu tempat kerja, sewaktu-waktu ia harus memasuki ruangan untuk mengontrol, menyetel, dan menjalankan instalasi-instalasi yang dapat merupakan sumber-sumber bahaya. Dengan demikian tempat tersebut harus memenuhi syarat-syarat keselamatan kerja, sehingga pekerja yang masuk ke ruangan tadi terjamin keselamatannya.
Sumber bahaya ada kalanya mempunyai daerah pengaruh yang meluas sesuai Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1970 sumber bahaya yang dikenal diperinci dan bertalian dengan :
a.   Keadaan mesin-mesin, pesawat, alat-alat kerja serta peralatan lainnya.
b.  Lingkungan.
c.   Sifat pekerjaan.
d.  Cara kerja.
e.   Proses produksi.
Oleh karena itu kesalamatan kerja adalah tugas semua orang yang bekerja. Keselamatan kerja adalah dari, oleh dan untuk setiap pekerja serta lainnya dan tugas masyarakat pada umumnya.

PERLINDUNGAN KERJA

Perlindungan kerja di dalam hukum ketenagakerjaan banyak ragamnya, namun yang akan dibahas dalam bab ini hanya dua macam yaitu :
A.Kesehatan kerja yang diatur dengan Undang-Undang No. 13 Tahun 2003.
B. Keselamatan kerja yang diatur dengan Undang-Undang No. 1 Tahun 1970, yang merupakan Undang-Undang Ketenagakerjaan yang lama yang masih relevan digunakan.
A.UNDANG-UNDANG NO. 13 TAHUN 2003 YANG MENGATUR TENTANG KESEHATAN KERJA
Materi kesehatan kerja ini meliputi :
1.     Pekerjaan anak.
2.     Pekerjaan perempuan pada (malam hari).
3.     Waktu kerja.
4.     Waktu istirahat.
5.     Hak khusus wanita
-         Pasal 81 mengatur cuti haid.
-         Pasal 82 mengatur cuti hamil.
-         Pasl 83 mengatur tentang menyusui anaknya pada waktu kerja.
-         Pasal 84 mengatur tentang hak mendapatkan upah pada saat mengambil cuti dan hak khusus wanita.
A.1.  PEKERJAAN ANAK
Definisi anak menurut Pasal 1 angka 26 Undang-Undang Ketengakerjaan No. 13 Tahun 2003 adalah “Setiap orang yang berumur di bawah 18 tahun”. Selanjutnya menurut ketentuan Pasal 68 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 di jelaskan bahwa “Pengusaha dilarang mempekerjakan anak”. Namun ketentuan seperti yang diatur dalam Pasal 68 tersebut dapat dikecualikan bagi anak yang berumur antara 13 sampai dengan 15 tahun untuk melakukan pekerjaan ringan, sepanjang tidak menganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental, dan sosial anak (Pasal 69 ayat (1)).
Pengusaha yang mempekerjakan anak pada pekerjaan ringan tersebut harus memenuhi syarat :
a.   Ijin tertulis dari orang tua/wali.
b.  Perjanjian kerja antara orang tua dan pengusaha.
c.   Waktu kerja maksimum 3 jam.
d.  Dilakukan pada siang hari dan tidak menganggu waktu sekolah.
e.   Memberi perlindungan keselamatan dan keehatan kerja.
f.    Adanya hubungan kerja yang jelas.
g.   Menerima upah sesuai ketentuan yang berlaku.
Menurut ketentuan Pasal 74 ayat (1) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 ditentukan bahwa : “Siapapun dilarang mempekerjakan anak pada pekerjaan yang terburuk”. Pekerjaan yang terburuk tersebut meliputi : (Pasal 74 ayat  (2)).
a.   Segala pekerjaan dalam bentuk perbudakan dan sejenisnya.
b.  Segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan atau melibatkan anak untuk produksi dan perdagangan minuman keras, narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya.
c.   Segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan atau menawarkan anak untuk pelacuran, produksi pornografi, pertunjukan porno dan perjudian.
d.  Segala pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan atau moral anak.
Jenis-jenis pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan dan moral anak ditetapkan dalam Kep. Men. No. 235/MEN/2003 yang meliputi :
a.   Pekerjaan pembuatan, perakitan / pemasangan, pengoperasian, perawatan dan perbaikan mesin-mesin bor, gerinda, mesin bubut, mesin produksi, alat berat seperti traktor, dapur peleburan, bejana penimbun, bejana pengangkut.
b.   Pekerjaan yang mengandung bahaya fisik sepert pekerjaan yang di bawah tanah, pekerjaan yang menggunakan peralatan las listrik/gas.
c.    Pekerjaan yang mengandung bahaya kimia.
d.   Pekerjaan yang mengandung bahaya biologis.
e.    Pekerjaan yang mengandung sifat dan keadaan bahaya tertentu misalnya pekerjaan konstruksi, bangunan, irigasi, jalan.
f.     Pekerjaan yang membahayakan moral anak misalnya pekerjaan yang di karaoke, diskotik, promosi minuman keras.
A.2.  PEKERJAAN PEREMPUAN PADA MALAM HARI
Definisi tentang perempuan yang bekerja pada malam hari tidak diatur pada Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 namun pada Pasal 76 ayat (1) menjelaskan bahwa pekerja perempuan yang berumur kurang dari 18 tahun dilarang di pekerjakan antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00 pagi.
Selanjutnya menurut Pasal 76 ayat (2) menjelaskan bahwa pengusaha dilarang mempekerjakan pekerja perempuan hamil yang menurut keterangan dokter berbahaya bagi kesehatan dan keselamatan kandungannya maupun dirinya, bila bekerja antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00 pagi.
Pengusaha yang mempekerjakan perempuan antara pukul 23.00 sampai dengan 07.00 pagi wajib :
a.   Memberikan makanan dan minuman bergizi.
b.  Menjaga kesusilaan dan kemanan selama di tempat kerja (Pasal 76 ayat (3)).
Ketentuan tersebut masih ditambah, bahwa pekerja perempuan antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 05.00 pagi wajib menyediakan antar jemput (Pasal 76 ayat (4)).
Ketentuan yang diatur dalam Pasal 76 ayat (3) dan (4) diatur lebih lanjut dalam Kep. Men. No. 224/MEN/2003.
Apabila pengusaha melanggar ketentuan yang diatur dalam Pasal 76 tersebut, menurut ketentuan Pasal 187, dikenakan sanksi pidana kurungan paling singkat 1 bulan dan paling lama 12 bulan dan atau didenda paling sedikit Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 100.000.000 (seratur juta rupiah). Tindak pidana tersebut merupakan tindak pidana pelanggaran.
A.3. WAKTU KERJA
Menurut ketentuan Pasal 77 ayat (1), setiap pengusaha wajib melaksanakan ketentuan waktu kerja sesuai bunyi Pasal 77 ayat (2). Waktu kerja diatur sebagai barikut :
a.     7 jam/hari dan 40 jam/minggu untuk 6 hari kerja dalam 1 minggu.
b.     8 jam/hari dan 40 jam/minggu untuk 5 hari kerja dalam 1 minggu.
Pengusaha dapat mempekerjakan pekerja melebihi waktu kerja seperti yang diatur Pasal 77 ayat (2) tersebut, namun harus memenuhi syarat sebagai berikut :
a.     Ada persetujuan dari pekerja yang bersangkutan.
b.     Waktu kerja lembur paling banyak 3 jam dalam  sehari dan 14 jam dalam 1 minggu (Pasal 78 ayat (1)).
Pengusaha yang mempekerjakan melebihi waktu kerja tersebut diatas wajib membayar upah kerja lembur (Pasal 78 ayat (2)).
Ketentuan pembayaran upah lembur diatur di dalam Kep. Men. No. 102/MEN/2004 tentang waktu kerja lembur dan upah kerja lembur.
A.4.  WAKTU ISTIRAHAT
Menurut bunyi Pasal 79 ayat (1), pengusaha wajib memberi waktu istirahat dan cuti kepada pekerja. Waktu istirahat dan cuti tersebut menurut bunyi Pasal 79 ayat (2) diatur sebagai berikut :
a.     Istirahat antara jam kerja, sekurang-kurangnya setengah jam setelah bekerja selama 4 jam terus menerus.
b.     Istirahat mingguan, 1 hari untuk  6 hari kerja dalam 1 minggu, 2 hari untuk 5 hari kerja dalam seminggu
c.      Cuti tahunan, 12 hari kerja setelah bekerja selama 12 bulan secara terus menerus.
d.     Istirahat panjang sekurang-kurangnya 2 bulan dilaksanakan pada tahun ke 7 dan ke 8 masing-masing 1 bulan bagi pekerja yang telah bekerja selama 6 tahun secara terus menerus. (Hak istirahat penjang ini hanya berlaku bagi pekerja yang bekerja pada perusahaan tertentu yang diatur Keputusan Menteri).
A.5.  HAK KHUSUS WANITA
Yang dimaksud hak khusus wanita adalah hak yang didapat wanita karena sifat kodratnya sebagai wanita yang tiap bulannya haid dan setelah menikah kemudian hamil dan melahirkan anak. Hak khusus wanita ini dilindungi oleh Undang-Undang dengan memberikan cuti haid dan cuti hamil.
Ketentuan tentang cuti haid diatur dalam Pasal 81 ayat (1) yang berbunyi : Pekerja perempuan yang dalam masa haid merasa sakit dan memberitahukan kepada pengusaha, tidak wajib bekerja pada hari pertama dan kedua pada waktu haid.
Pelaksanaan ketentuan cuti haid tersebut diatur dalam perjanjian kerja peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
Menurut ketentuan Pasal 82 ayat (1), pekerja perempuan berhak mendapatkan istirahat selama 1,5 bulan sebelum saatnya melahirkan dan 1,5 bulan sesudah melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan/bidan.
Menurut Pasal 83, pekerja perempuan yang anaknya masih menyusu harus diberi kesempatan sepatutnya untuk menyusui anaknya jika hal itu harus dilakukan selama waktu kerja.
Pasal 84 memberikan perlindungan bagi pekerja perempuan yang menggunakan hak waktu istirahat seperti yang diatur dalam Pasal 72 ayat (2) huruf b, c, d (mengambil istirahat mingguan, cuti tahunan, cuti panjang), Pasal 80 (melaksanakan ibadah yang diwajibkan oleh agamanya) Pasal 82 (mengambil cuti haid, cuti keguguran kandungan) berhak mendapat upah penuh.
Pasal 85 memberikan perlindungan sebagai berikut :
1.     Pekerja tidak wajib bekerja pada hari-hari libur resmi.
2.     Pengusaha dapat mempekerjakan pekerja pada hari libur resmi bila jenis dan sifat pekerjaan tersebut harus dilaksanakan secara terus menerus.
3.     Pengusaha yang mempekerjakan pekerja pada hari libur wajib memberikan upah lembur.
4.     Ketentuan jenis dan sifat pekerjaan tersebut datur dengan Keputusan Menteri.

PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA (PHK)

Menurut Prof Iman Soepomo, PHK dapat dibagi dalam 4 macam yakni:
  • PHK oleh pengusaha.
  • b. PHK oleh pekerja.
  • c. PHK oleh pengadilan.
  • d. PHK yang putus demi hukum.
Dari 4 macam PHK tersebut, PHK yang dilakukan oleh pengusaha merupakan PHK yang sering terjadi. Walaupun tindakan PHK dapat diberi pesangon, namun kejadian tersebut tidak disambut gembira oleh pekerja, karena tidak jelas lagi masa depannya. Oleh karena itu pengusaha dalam memutuskan hubungan kerja dengan pekerjanya harus melalui prosedur hukum yang berlaku.
Ketentuan untuk mem PHK pekerja diatur dalam Undang-Undang ketenagakerjaan No.13 Tahun 2003 yakni :
  • Harus ada syarat yang merupakan penetapan dari Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (Pasal 151 ayat (3)).
  • Ada alasan
    • Kesalahan berat (Pasal 158 ayat (1)).
      1.  Menipu, mencuri, menggelapkan barang perusahaan.
      2. Memberi keterangan palsu/yang dipalsukan.\Mabuk, minum minuman keras di perusahaan
      3. Melakukan perbuatan asusila/berjudi di perusahaan. 
      4. Menganiaya, mengancam, mengintimidasi kawan sekerja/ pengusaha. 
      5. Membujuk kawan sekerja/pengusaha untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan Undang-Undang. 
      6. Ceroboh, merusak/membiarkan barang milik perusahaan dalam keadaan bahaya. 
      7. Membongkar rahasia perusahaan. 
      8. Melakukan perbuatan di perusahaan yang diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih. 
      9. Ceroboh / pengusaha dalam keadaan bahaya.
  • Kesalahan berat tersebut harus didukung oleh bukti sebagai berikut :
      1. Pekerja tertangkap tangan.
      2. Pengakuan dari pekerja yang bersangkutan. 
      3. Bukti lain: laporan kejadian yang dibuat pihak yang berwenang di perusahaan dengan 2 orang saksi.
Hak pekerja yang melakukan kesalahan berat ini adalah : berhak atas uang penggantian hak yang diatur dalam Pasal 156 ayat (4).

b. Kesalahan Ringan (Pasal 161 ayat (1))
- Melanggar ketentuan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama setelah ada peringatan pertama, kedua dan ketiga secara berturut-turut.
- Surat peringatan tersebut berlaku minimal 6 bulan kecuali ditetapkan lain (Pasal 161 ayat (2)).
Hak pekerja yang melakukan kesalahan ringan adalah :
- Berhak atas uang pesangon sebesar satu kali sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (2).
- Berhak atas uang penghargaan masa kerja sebesar satu kali sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (3).
- Berhak uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
3. Memenuhi prosedur tertentu (Pasal 14 ayat (1) dan (2) Kep.Men. No. 150 Tahun 2000).
Permohonan PHK dibuat di atas kertas bermaterai yang memuat :
- Nama, alamat perusahaan.
- Nama, alamat yang di PHK.
- Umur, jumlah keluarga.
- Masa kerja, tanggal mulai kerja.
- Upah berakhir.
- Alasan di PHK.
Telah dijelaskan bahwa menurut ketentuan PHK dapat diberikan pada pekerja bila ada penetapan dari Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (Pasal 151 ayat (3)).
Apabila PHK tadi tanpa penetapan dari Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, maka akan batal demi hukum (Pasal 155 ayat (1)).
Apabila putusan Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial belum ditetapkan, maka pengusaha dan pekerja harus tetap melaksanakan segala kewajibannya (Pasal 155 ayat (2)).
Pengusaha dapat melakukan penyimpangan terhadap ketentuan tersebut di atas dengan tindakan skorsing pada pekerja dengan tetap membayar upah dan hak-hak lainnya pada pekerja (Pasal 155 ayat (3)).
Sesuai dengan ketentuan Pasal 153 ayat (1), pengusaha dilarang melakukan PHK yang alasannya sebagai berikut :
1. Pekerja sakit menurut keterangan dokter selama 12 bulan terus menerus.
2. Pekerja menjalankan kewajiban negara sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
3. Pekerja menjalankan ibadah yang diperintahkan agama (naik haji).
4. Pekerja menikah.
5. Pekerja perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, menyusui bayinya.
6. Pekerja punya pertalian darah/ikatan perkawinan dengan pekerja lainnya dalam satu perusahaan.
7. Pekerja mendirikan/menjadi anggota/pengurus Serikat Pekerja dalam satu perusahaan.
8. Pengaduan pekerja pada yang berwajib karena pengusaha melakukan tindakan pidana kejahatan.
9. Perbedaan paham, agama, aliran, suku, golongan, jenis kelamin, kondisi phisik, status perkawinan dengan pengusaha.
10. Pekerja cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja.
PHK yang dilakukan dengan alasan-alasan tersebut di atas batal demi hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan pekerja yang bersangkutan (Pasal 153 ayat (2)).
Menurut ketentuan Pasal 154, PHK tanpa penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial dapat terjadi bila :
a. Pekerja dalam masa percobaan.
b. Pekerja mengundurkan diri.
c. Pekerja mencapai usia pensiun.
d. Pekerja meninggal dunia.
e. Kontrak kerjanya habis.

UANG PESANGON, UANG PENGHARGAN MASA KERJA, UANG PENGGANTIAN HAK

Dalam hal terjadi PHK, pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon, uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima.

UANG PESANGON (Pasal 156 ayat (2))
Besarnya uang pesangon diatur sebagai berikut :
1. masa kerja < 1 th ………………………. 1 bulan upah
2. masa kerja 1 th ……….< 2 th …………. 2 bulan upah
3. masa kerja 2 th ……….< 3 th …………. 3 bulan upah
4. masa kerja 3 th ……….< 4 th …………. 4 bulan upah
5. masa kerja 4 th ……….< 5 th …………. 5 bulan upah
6. masa kerja 5 th ……….< 6 th …………. 6 bulan upah
7. masa kerja 6 th ……….< 7 th …………. 7 bulan upah
8. masa kerja 7 th ……….< 8 th …………. 8 bulan upah
9. masa kerja 8 th ……….< 9 th …………. 9 bulan upah.


UANG PENGHARGAN MASA KERJA (Pasal 156 ayat (3))
Besarnya uang penghargan masa kerja diatur sebagai berikut :
1. masa kerja 13 th ……….16 th………… 2 bulan upah
2. masa kerja 16 th ……….19 th………… 3 bulan upah
3. masa kerja 19 th ……….12 th………... 4 bulan upah
4. masa kerja 12 th ……….15 th………... 5 bulan upah
5. masa kerja 15 th ……….18 th………… 6 bulan upah
6. masa kerja 18 th ……….21 th………… 7 bulan upah
7. masa kerja 21 th ……….24 th………… 8 bulan upah
8. masa kerja 24 th atau lebih ……………10 bulan upah.


UANG PENGGANTIAN HAK (Pasal 156 ayat (4))

Uang penggantian hak yang seharusnya diterima pekerja meliputi :
1. Cuti tahunan yang belum diambil/belum gugur.
2. Biaya/ongkos pulang untuk pekerja dan keluarganya ke tempat dimana pekerja diterima bekerja.
3. Penggantian rumah, pengobatan dan perawatan ditetapkan 15% dari uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi syarat.
4. Hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.


Komponen upah yang ditetapkan/digunakan sebagai dasar perhitungan uang pesangon, uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak terdiri dari : (Pasal 157 ayat (1)).
a. Upah pokok
b. Segala macam bentuk tunjangan yang bersifat tetap yang diberikan pada pekerja dan keluarganya.
(tunjangan jabatan, tunjangan suami atau istri dan anak).
c. Harga dari jatah/ catu yang diberikan secara cuma-cuma.


Bila pekerja statusnya harian, penghasilan sebulan adalah 30 kali penghasilan sehari (Pasal 157 ayat (2)).
Bila pekerja statusnya sebagai pekerja borongan/satuan hasil, potongan, maka penghasilan sehari adalah sama dengan pendapatan rata-rata per hari selama 12 bulan terakhir, dengan ketentuan tidak boleh kurang dari ketentuan upah minimum Provinsi/upah minimum Kabupaten/Kota (Pasal 157 ayat (3)).
Bila pekerjaan tergantung pada keadaan cuaca dan upahnya didasarkan pada upah borongan, perhitungan upah per bulan dihitung dari upah rata-rata 12 bulan terakhir (Pasal 157 ayat (4)).
Pemutusan Hubungan Kerja yang dilakukan pengusaha juga dapat terjadi karena hal-hal seperti dibawah ini :
1. Pasal 162 Menetapkan bahwa pekerja yang mengundurkan diri atas kemauan sendiri dapat di PHK dengan memperoleh uang penggantian hak sesuai dengan ketentuan Pasal 156 ayat (4).
Pekerja yang mengundurkan diri tersebut harus memenuhi syarat :
- menggunakan permohonan pengunduran diri secara tertulis selambat-lambatnya 30 hri sebelum tanggal pengunduran diri.
- Tidak terikat dalam ikatan dinas.
- Tetap melaksanakan kewajibannya sampai tanggal mulainya pengunduran diri.
PHK dengan alasan pengunduran diri atas kemauan sendiri dilakukan tanpa penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
2. Pasal 163 Menetapkan bahwa pengusaha dapat melakukan PHK bila terjadi perubahan status, penggabungan, peleburan atau perubahan kepemilikan perusahaan dan pekerja tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja.
Hak pekerja adalah uang pesangon sebesar satu kali upah sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar satu kali upah sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
3. Pasal 164 ayat (1) Menetapkan bahwa pengusaha dapat melakukan PHK karena perusahaan mengalami kerugian secara terus menerus selama 2 tahun/karena keadaan memaksa.
Hak pekerja adalah uang pesangon seesar 1 kali upah sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 1 kali upah sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (3); uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
Pasal 164 ayat (3) Jika perusahaan melakukan effisiensi, hak pekerja adalah uang pesangon sebesar 2 kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
4. Pasal 165 Menetapkan bahwa pengusaha dapat melakukan PHK terhadap pekerja karena perusahaan pailit.
Hak pekerja adalah uang pesangon sebesar 2 kali upah sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 kali upah sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
5. Pasal 166 Menetapkan jika pekerja meninggal dunia ahli warisnya berhak 2 kali uang pesangon, 1 kali uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak sesuai ketentuan.
6. Pasal 167 Menetapkan bahwa pengusaha dapat melakukan PHK terhadap pekerja karena pekerja memasuki usia pensiun dan pekerja diikutkan pada program pensiun yang iurannya dibayar penuh oleh pengusaha. Pekerja tidak berhak atas uang pesangon, uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak.
7. Pasal 168 ayat (1) Menetapkan bahwa jika pekerja mangkir selama 5 hari atau lebih secara berturut-turut tanpa keterangan tertulis dan telah dipanggil pengusaha selama 2 kali secara patut dan tertulis, pekerja dapat di PHK karena dikualifikasikan mengundurkan diri.
Pekerja berhak uang penggantian hak sesuai dengan ketentuan.
8. Pasal 169 ayat (1) Menetapkan bahwa pekerja dapat mengajukan permo-honan PHK kepada Lembaga Penyelesaian Hubungan Industrial jika pengusaha melakukan perbuatan sebagai berikut :
- Menganiaya, menghina secara kasar, mengancam pekerja.
- Membujuk pekerja untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan-peraturan Perundang-undangan.
- Tidak membayar upah tepat waktu selama 3 bulan berturut-turut.
- Tidak melakukan kewajiban sesuai perjanjian kerja.
- Memerintahkan pekerja untuk melakukan pekerjaan diluar perjanjian kerja.
- Memberikan pekerjaan yang membahayakan jiwa, keselamatan, kesehatan dan kesusilaan pekerja sedangkan pekerjaan tersebut tidak dicantumkan dalam perjanjian kerja.
Pekerja berhak mendapatkan pesangon 2 kali upah sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 1 kali upah dan uang penggantian hak sesuai ketentuan.
9. Pasal 172 Menetapkan bahwa pekerja yang sakit berkepanjangan dan mengalami cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaan melampaui batas 12 bulan dapat mengajukan PHK.
Hak pekerja yang diberikan uang pesangon 2 kali upah, uang penghargaan masa kerja 2 kali upah dan uang penggantian hak satu kali upah sesuai ketentuan.


PENCEGAHAN PHK MASSAL
(Surat Edaran No : SE-907/MEN/PHI-PPHI/X/2004 tentang Pencegahan Pemutusan Hubungan Kerja Massal).
Pekerja dalam proses produksi barang dan jasa tidak saja merupakan sumber daya tetapi juga sekaligus merupakan asset yang tidak dapat dipisahkan dari upaya untuk menjamin kelangsungan usaha. Oleh karena itu hubungan kerja yang telah terjadi perlu dipelihara secara berkelanjutan dalam suasana hubungan industrial yang harmonis, dinamis berkeadilan dan bermartabat.
Namun apabila dalam hal suatu perusahaan mengalami kesulitan yang dapat membawa pengaruh terhadap ketenagakerjaan, maka PHK haruslah merupakan upaya terakhir, setelah dilakukan upaya sebagai berikut :
a. Mengurangi upah dan fasilitas pekerja tingkat atas, misalnya tingkat manager dan direktur.
b. Mengurangi shift.
c. Membatasi/menghapuskan kerja lembur.
d. Mengurangi jam kerja.
e. Mengurangi hari kerja.
f. Meliburkan atau merumahkan pekerja secara bergilir untuk sementara waktu.
g. Tidak memperpanjang kontrak bagi pekerja yang sudah habis masa kontraknya.
h. Memberikan pensiun bagi yang sudah memenuhi syarat.
Pemilihan alternatif dari hal-hal sebagaimana tersebut di atas perlu dibahas terlebih dahulu dengan Serikat Pekerja atau dengan wakil pekerja dalam hal didalam perusahaan tersebut tidak ada Serikat Pekerja untuk mendapatkan kesempatan secara bipartit sehingga dapat dicegah kemungkinan terjadinya PHK.